BIOGRAFI IMAM MUSLIM | ENGLISH INDONESIAN
BELAJAR BAHASA INGGRIS LEWAT RIWAYAT HIDUP IMAM MUSLIM
Imām Muslim's full name is Abu al-Husayn
Muslim ibn al-Hajjāj ibn Muslim ibn Warat al-Qushayri al- Naysaburi (206-261
AH/821-875 AD). Imām "Muslim," as his nasba shows, belonged to the
Qushayr tribe of the Arabs, an offshoot of the great clan of Rabi'a.
Nama lengkap Imam Muslim adalah Abu
al-Husain Muslim ibn al-Hajjāj ibn Muslim ibn Warat al-Qushayri al-Naysaburi
(206-261 H/821-875 M). Imam "Muslim", seperti yang ditunjukkan oleh
nasbahnya, berasal dari suku Qushayr di Arab, sebuah cabang dari keluaga besar
Rabi'ah.
He was born in Naysabur (Nishapur) in
206/821. His parents were righteous people who left such an indelible
impression on his mind that he spent his life as a God-fearing person and
always adhered to the path of righteousness. Imām Muslim travelled widely to
collect hadith in Arabia, Egypt, Syria and Iraq, where he attended the lectures
of some of the prominent Muhadith of his time: Isḥāq b. Rāḥawayh, Aḥmad b.
Hanbal, 'Ubaydullah al-Qawariri, Qutaiba bin Sa’id, 'Abdullah ibn Maslama,
Harmalah bin Yahya, and others. After completing his education, he settled down
at Nishapur. There he came into contact with Imām al-Bukhārī. Imām Muslim was
impressed with Imām al-Bukhārī's knowledge that he kept himself attached to him
up to the end of his life. Another muhaddith that influenced Imam Muslim was
Muhammad ibn Yahya al-Dhuhali and he attended his lectures regularly, but when
the difference of opinion between Muhammad b. Yahya and Imam Bukhari on the
issue of the creation of the Holy Qur'an sharpened into hostility, Imam Muslim
sided with Imam Bukhari and abandoned Muhammad b. Yahya altogether. He was
therefore a true disciple of Imām al-Bukhārī.
Ia lahir di Naysabur (Nishapur) pada 206 H/821
M. Orang tuanya adalah orang-orang saleh yang meninggalkan kesan yang tak
terhapuskan di benaknya bahwa dia menghabiskan hidupnya sebagai orang yang
takut kepada Allah dan selalu berpegang pada jalan kebenaran. Imam Muslim
bepergian secara luas untuk mengumpulkan hadits di Arab, Mesir, Suriah dan
Irak, majlis tempat ia menghadiri ceramah beberapa Muhadits terkemuka pada
masanya: Isḥāq bin Rāḥawayh, Ahmad bin Hanbal, 'Ubaydullah al-Qawariri, Qutaiba
bin Sa'id, 'Abdullah ibn Maslama, Harmalah bin Yahya, dan lainnya. Setelah
menyelesaikan pendidikannya, dia menetap di Nishapur. Di sana dia bertemu dan
dekat dengan Imam al-Bukhārī. Imam Muslim terkesan dengan pengetahuan Imam
al-Bukhārī yang membuat dirinya tetap dekat padanya hingga akhir hayatnya.
Muhaddis lain yang mempengaruhi Imam Muslim adalah Muhammad ibn Yahya
al-Dhuhali dan dia menghadiri ceramahnya secara teratur, tetapi ketika
perbedaan pendapat antara Muhammad bin Yahya dan Imam Bukhari dalam masalah
penciptaan Al-Qur'an dipertajam menjadi permusuhan, Imam Muslim memihak Imam
Bukhari dan meninggalkan Muhammad bin Yahya sama sekali. Oleh karena itu, dia
adalah murid sejati Imam al-Bukhārī.
He wrote many books and treatises on
Hadith, but the most important of his works is the collection (Jami’) of his
Sahih. He originally named his book Musnad as-Ṣaḥīḥ, and mentioned in his book
that he wrote authored such a book in response to a question from one of his
students.
Dia menulis banyak kitab dan risalah
tentang Hadits, tetapi karyanya yang paling penting adalah koleksi (Jami') dari
Sahihnya. Dia awalnya menamai bukunya Musnad as-Ṣaḥīḥ, dan menyebutkan dalam kitabnya
bahwa dia menulis menulis kitab semacam itu sebagai jawaban atas pertanyaan
dari salah satu muridnya.
Imām Muslim meticulously collected
300,000 hadith and after a thorough examination of them retained only 4000, the
genuineness of which were fully established. He prefixed to his compilation a
very illuminating introduction, in which he specified some of the principles in
which he had followed in the choice of his material. Imam Muslim has to his credit
many other valuable contributions to different branches of Hadith literature,
and most of them retain their eminence even to the present day. Amongst these
Kitab al-Musnad al-Kabir 'Ala al-Rijal, Jami' Kabir, Kitab, al-Asma' wa'l-Kuna,
Kitab al-Ilal, Kitab al- Wijdan are very important.
Imam Muslim dengan cermat mengumpulkan
300.000 hadits dan setelah pemeriksaan menyeluruh terhadapnya, ia hanya
mempertahankan 4.000, yang keasliannya dapat dipastikan sepenuhnya. Dia
mengawali penyusunan kitabnya (kompilasinya) dengan pengantar yang sangat
mencerahkan, di mana dia menentukan beberapa prinsip yang dia ikuti dalam
pemilihan isi hadisnya. Imam Muslim memiliki banyak kontribusi berharga lainnya
untuk berbagai cabang literatur Hadis, dan kebanyakan dari mereka
mempertahankan keunggulannya bahkan hingga hari ini. Di antaranya Kitab
al-Musnad al-Kabir 'Ala al-Rijal, Jami' Kabir, Kitab, al-Asma' wa'l-Kuna, Kitab
al-Ilal, Kitab al-Wijdan sangat penting.
Methods of Classification and Annotation:
Imam Muslim strictly observed many
principles of the science of Hadith, which had been slightly ignored by his
great teacher Imam Bukhari (may Allah have mercy on both of them).
Metode Klasifikasi dan Penjelasan (Anotasi):
Imam Muslim secara ketat mengamati banyak
prinsip ilmu Hadits, yang telah sedikit diabaikan oleh guru besarnya Imam
Bukhari (semoga Allah merahmati keduanya).
Imam Muslim considered only such
traditions to be genuine and authentic as had been transmitted to him by an
unbroken chain of reliable authorities up to the Prophet and were in perfect
harmony with what had been related by other narrators whose trustworthiness was
unanimously accepted and who were free from all defects. He divided narrators
and sub-narrators into 3 levels:
- Those people who are completely authentic in their memory and character with no deficiency whatsoever. They were known to be honest and trustworthy.
- People of slightly lesser memory and perfection than the previous category, yet still trustworthy and knowledgeable, not liars by any measure. Examples of people in this category include `Ata ibn Said and Layth ibn Abi Sulaim.
- People whose honesty was a subject of dispute or even discussion. Imam Muslim did not concern himself with such people. Examples in this category include Abdullah ibn Maswar and Muhammad ibn Said al-Maslub.
Imam Muslim menganggap hanya hadis-hadis
seperti itu yang asli dan otentik seperti yang telah disampaikan kepadanya oleh
perawi terpercaya yang tak terputus hingga Nabi dan selaras sempurna dengan apa
yang telah diceritakan oleh perawi lain yang kepercayaannya diterima dengan
suara bulat dan yang telah bebas dari segala cacat. Dia membagi perawi (periwayat)
hadis menjadi 3 tingkatan:
- Orang-orang yang benar-benar otentik dalam ingatan dan karakter mereka tanpa kekurangan apapun. Mereka dikenal jujur dan dapat dipercaya.
- Orang dengan ingatan dan kesempurnaan yang sedikit lebih rendah dari kategori sebelumnya, namun tetap dapat dipercaya dan berpengetahuan luas, bukan pembohong dalam ukuran apa pun. Contoh orang dalam kategori ini termasuk `Ata ibn Said dan Layth ibn Abi Sulaim.
- Orang yang kejujurannya diperdebatkan atau bahkan didiskusikan. Imam Muslim tidak menyibukkan dirinya dengan orang-orang seperti itu. Contoh dalam kategori ini termasuk Abdullah ibn Maswar dan Muhammad ibn Said al-Maslub.
Moreover, Imam Bukhari, while describing
the chain of narrators, sometimes mentions their kunya and sometimes gives
their names. This is particularly true in case of the narrators of Syria. This
creates a sort of confusion, which Imam Muslim has avoided.
Selain itu, Imam Bukhari, saat
menjelaskan rantai perawi (sanad), terkadang menyebutkan nama gelar (kuniyah)
dan terkadang menyebutkan nama mereka. Ini khususnya benar dalam kasus perawi
Suriah. Ini menciptakan semacam kebingungan, yang dihindari oleh Imam Muslim.
Imam Muslim takes particular care in
according the exact words of the narrators and points out even the minutest
difference in the wording of their reports. Imam Muslim has also constantly
kept in view the difference between the two well-known modes of narration,
haddathana (he narrated to us) and akhbarana (he informed us). He is of the
opinion that the first mode is used only when the teacher is narrating the
hadith and the student is listening to it, while the second mode of expression
implies that the student is reading the hadith before the teacher. This
reflects his utmost care in the transmission of a hadith. Imam Muslim has taken
great pains in connecting the chain of narrators. He has recorded only that
hadith which, at least, two reliable tabi'in (successors) had heard from two
Companions and this principle is observed throughout the subsequent chain of
narrators.
Imam Muslim memberikan perhatian khusus
sesuai dengan kata-kata yang tepat dari para perawi dan menunjukkan bahkan
perbedaan terkecil dalam kata-kata dari laporan mereka. Imam Muslim juga selalu
melihat perbedaan antara dua cara (modus) narasi terkenal, haddathana (dia
meriwayatkan kepada kami) dan akhbarana (dia memberitahu kami). Dia berpendapat
bahwa modus pertama hanya digunakan ketika guru sedang meriwayatkan hadits dan
siswa mendengarkannya, sedangkan modus kedua ekspresi menyiratkan bahwa siswa
membaca hadits di depan guru. Ini mencerminkan perhatiannya yang paling besar
dalam transmisi sebuah hadits. Imam Muslim telah bersusah payah menghubungkan sanad
perawi. Dia hanya mencatat hadits yang, setidaknya, telah didengar oleh dua
tabi'in (penerus) terpercaya dari dua sahabat dan prinsip ini diamati di
seluruh rantai perawi berikutnya.
His Students:
His Students Imam Muslim had a very wide
circle of students, who learnt Hadith from him. Some of them occupy a very
prominent position in Islamic history, e.g. Abu Hatim Razi, Musa ibn Harun,
Ahmad ibn Salama, Abu 'Isa Tirmidhi, Abu Bakr ibn Khusaima, Abu ‘Awana and
Al-Dhahabi.
Murid-muridnya:
Murid-muridnya Imam Muslim memiliki
kalangan santri yang sangat luas, yang belajar Hadits darinya. Beberapa dari
mereka menempati posisi yang sangat menonjol dalam sejarah Islam, misalnya. Abu
Hatim Razi, Musa bin Harun, Ahmad bin Salama, Abu 'Isa Tirmidzi, Abu Bakar bin
Khusaima, Abu 'Awana dan Al-Dhahabi.
His Death:
Imam Muslim lived for fifty-five years. He
spent most of his time in learning Hadith, in its compilation, in its teaching
and transmission. He always remained absorbed in this single pursuit and
nothing could distract his attention from this pious task. He died in 261/875,
and was buried in the suburbs of Nishapur.
Wafatnya:
Imam Muslim hidup selama lima puluh lima tahun. Dia menghabiskan sebagian besar waktunya untuk mempelajari Hadits, penyusunannya, pengajaran dan penyebarannya (transmisinya). Dia selalu tekun dalam mewujudkan ini dan tidak ada yang dapat mengalihkan perhatiannya dari tugas saleh ini. Dia meninggal pada 261 H/875 M, dan dimakamkan di pinggiran kota Nishapur.
Wallahu A’lam. Semoga bermanfaat.
Silahkan baca juga tentang hadis-hadis berbagai tema dengan klik di sini DI SINI