BIOGRAFI IMAM BUKHARI | ENGLISH INDONESIAN
BELAJAR BAHASA INGGRIS LEWAT RIWAYAT HIDUP IMAM BUKHARI
Imām al-Bukhārī (rahimahullāh) is known as the Amīr al-Mu'minīn in hadīth. His genealogy is as follows: Abu Abdullāh Muhammad Ibn Ismā`īl Ibn Ibrāhīm Ibn al-Mughīrah Ibn Bardizbah al-Bukhārī. His father Ismā`īl was a well-known and famous muhaddith in his time and had been blessed with the chance of being in the company of Imām Mālik, Hammād Ibn Zaid and also Abdullāh Ibn Mubārak (rahimahullahum).
Imam al-Bukhārī (rahimahullāh) dikenal
sebagai Amir al-Mu'minīn dalam hadits. Silsilahnya adalah sebagai berikut: Abu
Abdullāh Muhammad Ibn Ismā`īl Ibn Ibrāhīm Ibn al-Mughīrah Ibn Bardizbah
al-Bukhārī. Ayahnya Ismā`īl adalah seorang muhaddis yang termasyhur pada
masanya dan namanya telah disejajarkan dengan Imam Malik, Hammād Ibn Zaid dan
juga Abdullāh Ibn Mubārak (rahimahullahum).
Imām al-Bukhārī (rahimahullah) was born
on the day of Jumuah (Friday) the 13th of Shawwāl 194 (A.H.). His father passed
away in his childhood. At the age of sixteen after having memorized the
compiled books of Imām Wakīy and Abdullāh Ibn Mubārak, he performed Hajj with
his elder brother and mother. After the completion of Hajj he remained in
Makkah for a further two years and upon reaching the age of eighteen headed for
Madīnah, compiling the books "Qadhāyas-Sahābah wa at-Tābi'īn" and
"Tārikh al-Kabīr." Imām al-Bukhārī also traveled to other key centers
of Arabia in search of knowledge like Syria, Egypt, Kufa, Basra, and Baghdad.
Imam al-Bukhārī (rahimahullah) lahir pada
hari Jumuah (Jum’at) tanggal 13 Syawal 194 H.. Ayahnya meninggal di masa
kecilnya. Pada usia enam belas tahun setelah menghafal kumpulan kitab Imam
Wakīy dan Abdullāh Ibn Mubārak, dia menunaikan haji bersama kakak laki-laki dan
ibunya. Setelah menyelesaikan haji dia tinggal di Makkah selama dua tahun lagi
dan setelah mencapai usia delapan belas tahun menuju Madinah, menyusun buku
"Qadhāyas-Sahābah wa at-Tābi'īn" dan "Tārikh al-Kabīr."
Imam al-Bukhārī juga melakukan perjalanan ke pusat-pusat penting lainnya di Arab
untuk mencari ilmu seperti Suriah, Mesir, Kufah, Basra, dan Bagdad.
Imām al-Bukhārī (rahimahullah) first
started listening and learning ahādīth in 205 A.H., and after benefiting from
the `ulama of his town he started his travels in 210 A.H. His memory was
considered to be one of a kind; after listening to a hadīth he would repeat it
from memory. It has been known that in his childhood he had memorized 2,000
ahādīth.
Imam al-Bukhārī (rahimahullah) pertama
kali mulai mendengarkan dan mempelajari hadits pada tahun 205 H., dan setelah
mendapat berguru dan belajar dari ulama di kotanya, dia memulai perjalanannya
pada tahun 210 H. Ingatannya dianggap sangat istimewa; setelah mendengarkan sebuah
hadits dia akan mengingatnya dan melekat dalam ingatannyay. Diketahui bahwa
semasa kecil beliau telah menghafal 2.000 hadits.
There are a number of books compiled by
Imām al-Bukhārī (rahimahullah). His Ṣaḥīḥ is regarded as the highest authority
of the collection of hadīth. He named this book "Al-Jāmi` al-Musnad as-Ṣaḥīḥ
al-Mukhtasar min Umuri Rasulullahi sallallāhu 'alaihi wa sallam wa Sunanihi wa
Ayyāmihi." After he finished, he showed the manuscript to his teachers
Imām Ahmad ibn Hanbal (rahimahullah) for approval, along with Ibn al-Madini,
and lastly Ibn Ma`īn. It has also been recorded that it took Imām al-Bukhārī a
period of 16 years to gather the ahādīth and to write the Ṣaḥīḥ, which sets the
date back to 217 A.H. as the year in which he started the compilation; Imām
al-Bukhārī (rahimahullah) being merely 23 years of age.
Ada sejumlah buku yang disusun oleh Imam
al-Bukhārī (rahimahullah). Ṣahīḥ-nya dianggap sebagai otoritas tertinggi dari
kumpulan hadits. Beliau menamai kitab ini “Al-Jāmi` al-Musnad as-Ṣaḥīḥ
al-Mukhtasar min Umuri Rasulullahi sallallāhu ‘alaihi wa sallam wa Sunanihi wa
Ayyāmihi.” Setelah selesai, dia menunjukkan naskah tersebut kepada gurunya Imam
Ahmad bin Hanbal (rahimahullah) untuk disetujui, bersama dengan Ibnu al-Madini,
dan terakhir Ibnu Ma`īn. Juga tercatat bahwa Imam al-Bukhārī membutuhkan waktu
16 tahun untuk mengumpulkan hadits dan menulis Ṣahihīḥ, yang menetapkan tanggal
kembali ke 217 H. sebagai tahun di mana ia memulai mengumpulkan kompilasi hadis;
saat itu Imam al-Bukhārī (rahimahullah) baru berusia 23 tahun.
Before he actually placed a hadith in his
compilation he performed ghusl and prayed two raka`ah nafl prayers asking Allah
for guidance. He finalized each hadith in the rawdah of Masjid an-Nabawi (between
the Prophet's ( grave and his minbar) and wrote the hadīth in the masjid. Only
after being completely satisfied with a hadīth did he give it a place in his
collection.
Sebelum dia benar-benar menempatkan
sebuah hadits dalam kitabnya, dia melakukan mandi (ghusl) dan Sholat snnah dua
rakaat shalat nafl meminta petunjuk Allah. Dia menyelesaikan setiap hadits di
rawdah Masjid an-Nabawi (antara kuburan Nabi dan mimbarnya) dan menulis hadits
di masjid. Hanya setelah benar-benar yakin dengan sebuah hadits barulah dia
menempatkannya dalam koleksinya.
Methods of Classification and Annotation:
- Imām al-Bukhārī (rahimahullah) imposed conditions which all narrators and testifiers in the hadith chain must have met before a hadith was included in his book:
- All narrators in the chain must be just (`adl).
- All narrators in the chain must possess strong memory and all the Muhadditheen who possess great knowledge of ahadith must agree upon the narrators' ability to learn and memorize, along with their reporting techniques.
- The chain must be complete without any missing narrators.
- It must be known that consecutive narrators in the chain met each other (this is Imām al-Bukhārī's extra condition).
Metode Klasifikasi dan Anotasi:
- Imam al-Bukhārī (rahimahullah) menetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh semua perawi dan saksi dalam sanad hadits sebelum sebuah hadits dimasukkan ke dalam bukunya:
- Semua perawi dalam sanad harus adil (`adl).
- Semua perawi dalam sanad harus memiliki ingatan yang kuat dan semua Muhaddisiin yang memiliki pengetahuan hadits yang tinggi harus menyetujui kemampuan perawi untuk belajar dan menghafal, bersama dengan teknik pelaporan mereka.
- Sanad harus lengkap tanpa ada perawi yang hilang.
- Harus diketahui bahwa para perawi yang berurutan dalam sanad itu bertemu satu sama lain (ini adalah syarat tambahan Imam al-Bukhārī).
Imām an-Nawawi (rahimahullah) relates
that all scholars in Islām have agreed that Ṣaḥīḥ al-Bukhārī has gained the
status of being the most authentic book after the Qur'an. Ṣaḥīḥ al-Bukhārī
consists of 7,563 ahādith including those ahādith which have been repeated.
Without repetitions however, the total number of hadith is around 2,600.
Imam an-Nawawi (rahimahullah)
menceritakan bahwa semua ulama Islam telah sepakat bahwa Ṣaḥīḥ al-Bukhārī telah
memperoleh status sebagai kitab yang paling shahih setelah Al-Qur'an. Ṣaḥīḥ
al-Bukhārī terdiri dari 7.563 hadits termasuk hadits-hadits yang diulang-ulang.
Namun tanpa pengulangan, jumlah total hadis adalah sekitar 2.600.
His Students:
In the year 864/250, he settled in
Nishapur. It was there that he met Muslim ibn Al-Hajjaj, who would be
considered his student, and eventually collector and organizer of the hadith
collection Ṣaḥīḥ Muslim which is considered second only to that of al-Bukhārī.
Murid-muridnya:
Pada tahun 864/250, dia menetap di
Nishapur. Di sanalah dia bertemu dengan Muslim ibn Al-Hajjaj, yang akan
dianggap sebagai muridnya, dan akhirnya menjadi kolektor dan penyelenggara
koleksi hadits Ṣaḥīḥ Muslim yang dianggap nomor dua setelah al-Bukhārī.
His Death:
Political problems led him to move to
Khartank, a village near Samarkānd where he died in the year 256 A.H./870 A.D.
Wafatnya:
Masalah politik membuatnya pindah ke Khartank, sebuah desa dekat Samarkand di mana dia meninggal pada tahun 256 H./870 A.D.
Silahkan baca juga tentang hadis-hadis berbagai tema dengan klik di sini DI SINI